Laki-Laki yang Duduk Ditemani Sepi – Short Story

Standard

Musik masih berdentam dari panggung di sudut sana, menenggelamkan riuh rendah canda tawa dari semua meja. Sementara cahaya remang dari lampu-lampu yang memang terpasang seadanya. Bahagia, hura-hura, cinta, dan gelora terasa di udara. Sementara itu, gelas besar di depanku, entah yang keberapa, masih menyisa setengah. Embunnya mulai menetes membasahi meja. Dingin. Cairan keruh ini dingin. Seharusnya dingin ini menghangatkan, katanya. Tapi nyatanya, aku masih saja beku.

“You look sad.”, seseorang tiba-tiba menepuk lembut samping bahuku.

Siapa? Sudah pasti bukan kamu, batinku. Maka kutolehkan kepala ini, enggan. Dan kulihat seorang asing di sana, entah sejak kapan dia di situ, aku tidak tahu.
Aku masih diam.

“You look sad.”, wanita itu mengulang pernyataannya lagi. Entah siapa dia, tapi hangat matanya. Seperti matamu, dulu. Membuatku semakin rindu, membuatku semakin pilu. Maka aku hanya tersenyum lirih, setidaknya memaksakan garis bibir untuk melekuk pada ujung-ujungnya. Hangat matanya berhak memperoleh senyuman, walau aku ragu apa lengkungan bibir tanpa hati masih mempunyai arti.
Ya, aku tersenyum lirih, mengangguk kecil, bergumam pelan “I’m okay.”, sambil mengangkat gelas seraya meneguk isinya. Aku menghindari kontak mata, aku menghindari percakapan, semoga wanita itu tidak tersinggung. Bukan aku mau membisu, hanya saja, aku tidak mengerti harus menjawab apa lagi. Bagaimana caranya aku harus merangkum pedih dalam satu kalimat? Semoga ia mengerti, semoga isyarat ini dia pahami, bahwa aku hanya ingin sendiri.

Dan demikian, dia hanya tersenyum lagi, menepuk bahuku lagi. “I hope you’ll be happy. Be happy. .”, ujarnya di tengah dentum bersahutan sesaat sebelum dia berbalik pergi dan menghilang di tengah keriuhan.

Kuikuti punggungnya dari antara sudut mata, sebelum pandangku kembali pada gelas dingin itu
Am I looked so freakin’ miserable, until she randomly tried to cheer me up?
Pertanyaan bodoh. Seorang lelaki duduk sendiri ditemani gelas dan sepi; siapa pun tentu akan mengasihani.
Siapapun… Mungkin kecuali kamu. Kenapa lagi-lagi kamu? Aku mendengus geli, bercampus sinis, sambil menandaskan isi gelasku
Bahagia. Aku bahkan lupa kalau kata itu ada, kalau kata itu pernah punya makna. Aku lupa dan sekarang aku luka.

Tapi wanita asing tadi, entah siapapun itu, tulus meminta aku untuk bahagia. Kuangkat pandangku, mencoba mencari punggungnya lagi. Merasakan gelombang empati yang dia kirimkan. Sayang tidak lagi tampak di sana.

Gelasku sudah kosong, cairan keruh itu habis sudah. Perlahan ada hangat tersirat di dada, mencairkan es beku di dalam sana. Aku tidak tahu, apakah ini efek cairan yang kuminum barusan atau energi wanita itu berhasil tersampaikan.
Yang kutahu, malam ini aku masih lupa dan luka, tapi aku yakin tak akan lama.

Dan kamu, di manapun berada, semoga kamu juga bahagia di sana.

20140116-004440.jpg

This short story is inspired from @_azza’s twitter status couple days ago. I just could spontaneously depict the scene in my head as i read that. And this is my first short story after years 🙂 I should call it achievement.

Leave a comment