Category Archives: Fiction

The Last Repetition – A Short Story

Standard

Pesan ini akan tersampai, dia tahu itu.

Entah bagaimana caranya, itulah yang tidak ia tahu.

Perempuan itu membeku, lidahnya kelu. Tangannya sibuk mempermainkan sendok dan garpu di hadapannya. Mendenting-dentingkan pada piring dengan ketukan irama beraturan seolah ia sedang menciptakan irama sebuah orkesta di dalam benak. Makanan di hadapannya sudah lama tandas tidak bersisa, isi gelas tinggi hanya tersisa separuhnya. Orang bilang cairan bening merah itu melepaskan ketakutan untuk menyampaikan pesan, tapi tidak, ia masih juga meragu.

Malam ini bisa saja berawal berakhir seperti biasa. Apa adanya. Dia sudah hafal semua urutannya; lelaki di hadapannya adalah pengingat ulung dan ini adalah rutinitas mereka bertahun terakhir. Sebuah ritual nostalgia kencan pertama dengan segala sesuatu yang diulang-ulang semirip mungkin. Baginya, pengulangan adalah jaminan keamanan, bahwa dunianya bergulir sebagaimana mustinya. Sebagaimana mustinya, sebagaimana seharusnya. Dia tidak suka gejolak; pembenci drama. Hidup dan hati selayaknya berjalan sempurna terencana, berdasar agenda dan skenario yang tersusun rapih.

Adalah nomor meja yang sama dengan pengaturan bangku yang sesuai, dilanjutkan dengan pesanan menu makan minum yang tidak pernah berubah. Penyanyi di sudut sana akan menyanyikan pilihan lagu cinta sebagaimana tahun-tahun lalu, dengan sensitivitas rasa yang juga serupa. Mereka berdua akan makan dalam hening, persis sebagaimana kecanggungan saat pertama. Kecupan di kening akan menutup acara, bersama gandengan tangan yang seiring berjalan pergi menuju pulang. Mulut diam seribu bahasa, sementara hati ribut berbagi cerita.

Pada awalnya, semua adalah perayaan peringatan. Momentum kenangan yang diagungkan, lalu menjelma menjadi sebuah prosesi yang disakralkan dalam tata cara urutan baku. Mereka berdua adalah umat sekaligus pemimpin upacara; menyajikan dengan khidmat sembari mengamini makna yang tersirat. Repetisi selama delapan tahun, ilusi pernyataan bahwa semua baik-baik saja, yang masih akan mungkin terus berulang pada tahun demi tahun mendatang.

Mungkin.

Jika saja malam ini berawal berakhir seperti biasa.
Jika saja perempuan itu kerap menunda berkata.
Jika saja lelaki itu gagal menangkap pesan yang hendak disampai.

Hati mereka sudah lama tidak bercerita.
Prosesi hanya pengulangan aturan; kehilangan makna.
Pada jemari lentiknya, tidak ada lagi kilauan cincin di sana.

“May I talk?

Perempuan itu menengadah penuh kejut. Suara bariton itu memecahkan irama ketukan orkestra di pikirannya. Di luar dugaan, sang lelakilah yang membuka percakapan. Matanya menatap lekat, entah sejak kapan. Menggelisahkan, bak polisi yang memergoki seorang pencuri tengah menyelinap mengamati rumah korbannya, lalu menyergapnya dengan ketenangan yang tidak biasa.

Okay, that was definitely rare. She sensed something strange was going on. Pernyataan ingin bicara yang datang dari mulutnya adalah pelanggaran ritualnya yang pertama. Pernahkah seorang pastur memotong keheningan dengan pembicaraan pribadi di tengah konsekrasi komuni suci? Seaneh itulah semuanya diterima. Bidaah aturannya yang pertama.

“Terima kasih sudah bertahan bersamaku selama ini,” demikian ia berkata tanpa menunggu persetujuan. Ada segurat senyum di wajahnya, membuatnya terlihat jauh berbeda.

“Semua ritual non-sense ini…,” dia membuka kedua tangannya sambil menatap sekitarnya. Piring kosong di hadapan, suasana cafe dan penyanyinya, remang lampu di sekitar.

“Semua repetisi pengulangan ini, dan ketaatanmu mengikuti semua prosesi tanpa mengeluh.” Kata demi kata ditekankan perlahan penuh penghayatan. Seolah ritual baru tengah dilahirkan.

Matanya lalu jatuh tepat di bola mata sang perempuan. Mengikat lembut. Diraihnya kedua tangannya yang masih berisi sendok garpu, melepaskannya dari genggaman, dan menggantinya dengan jemarinya sendiri. Hangat dan erat. Tangan mereka melekat sempurna. Sela di antara jemari mendapatkan pemenuhan. Seperti doa yang terjawab akan sebuah riak di air yang terlalu tenang; bara yang tiba-tiba menyala di pagi yang dingin.

Perempuan itu kebingungan. Kegelisahan menyerang. Aneh, dialah seorang yang muak dengan rutinitas dan pengulangan yang terbaca. Dialah seorang yang ingin menciptakan perubahan. Menulis ulang cerita, kali ini dengan dia yang memegang pena. Sebuah cerita butuh drama, dibutuhkan konflik untuk merekatkan pembaca. Dia ingin riak, dobrakan dari kebiasaan. Cerita yang baru, letupan baru. Namun ketika aliran itu terusik, mengapa dia menjadi jengah? Kembalikan ritual yang dulu, di mana Anak Domba Allah menjadi sepasti setelah Doa Damai. Tanpa pembicaraan meresahkan ini. Saat kecup kening adalah yang menanti setelah santapan usai.

“Terima kasih, sudah bertahan selama ini.” Lelaki itu mengulangi, membawa si perempuan kembali pada kenyataan.

“Ya.” Jawabnya lirih. Tidak tahu lagi, harus mengatakan apa.

Lalu hening menyusul dan tangan mereka saling melepas. Perempuan itu menghembuskan nafas lega. Keheningan adalah bagian dari ritual; mereka sudah kembali pada jalur yang semestinya. Repetisi dan pengulangan, tidak pernah semelegakan itu. Dia tidak lagi ingin berkata apa-apa, tidak lagi ingin memegang pena cerita. Tidak perlu romansa dan drama. Perubahan terlalu menakutkan. Bersembunyi sajalah dalam damainya tata cara tanpa makna, dan biarkan semua ini berakhir membosankan seperti biasa. Untuk kembali berulang pada tahun demi tahun mendatang.

Setelah ini adalah lelakinya akan menandatangi lembaran tagihan, mengecup kening, lalu bergandengan tangan pulang. Demikian ia mengabsen runutan prosesi selanjutnya. Untuk pertama kalinya, pengulangan membuatnya tenang. Esensi pengulangan, sebuah keteraturan. Mereka akan pulang, lalu kali ini dia akan mengambil cincin yang telah dilepaskan untuk kembali dikenakan.

Tidak lagi ada pesan yang ingin disampaikan.

Tapi ternyata riak telah menjadi gelombang yang menyebar ke seluruh danau. Satu bidaah aturan pun akan diikuti bidaah berikutnya. Seaneh seorang pastur turun dari mimbar dan keluar sebelum membagikan komuni, laki-laki itu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku bajunya dan menimangnya perlahan. Sedetik dua, dunia seperti terhenti lalu meledak akibat sumbatan pertanyaan bercampur kekhawatiran.

Perempuan itu tinggal sedetik jauhnya dari erupsi histeria keresahan. Keheningan tidak pernah menjelma semengerikan ini. Layaknya sahabat dekat yang tetiba menikamkan belati tanpa disangka, membunuh tanpa diduga. Adalah keheningan sahabatnya dan repetisi penjaga dunianya; keduanya berkhianat dalam satu kejap. Dia tidak terima, tapi bukankah ia sendiri yang pertama-tama hendak merubah cerita? Jika semesta kemudian mengabulkan pinta, apa haknya untuk kemudian mempertanyakan?

Hangat tangan si lelaki yang meraih kembali jemarinya menarik rohnya lagi ke dunia. Hal kedua yang ia sadari, kotak kecil itu telah berpindah tangan. Kotak itu terbuka. Isinya, cincin yang telah ia lepaskan; cincin yang hendak kembali dikenakan begitu ia kembali pulang. Entah bagaimana caranya berhasil ditemukan.

Her heart slid away in one glance, then.

It skipped its beats, as she saw her world crumbled in front of her very eyes.

“Terima kasih sudah bertahan selama ini.” Untuk ketiga kalinya lelaki itu mengulangi. Sungguh, menjelaskan betapa dia menyukai pengulangan. Betapa pengulangan adalah jaminan keamanan, bahwa semuanya akan berjalan dalam kedamaian, walau genggaman itu gemetar perlahan.

But this time, she knew she wouldn’t be any part of it, since.
No longer repetition. Not for her; not for them.

Pesan itu pada akhirnya tersampai. Semua sudah selesai. Kecupan kening terakhir, diiringi sebuah bisikan lirih.

“Selamat ulang tahun…”

Lalu keduanya kembali hening dalam diam. Mulut mengunci seribu bahasa. Rasa mungkin masih ada, namun hati memilih untuk tidak lagi berbicara. Dan lelaki itu berbalik pulang, kali ini tanpa gandengan tangan. Bidaah ritualnya yang terakhir. Momentum di mana pengulangan pun akhirnya berhenti berulang.

Dan ritual baru diciptakan.

This is just another birth.

——————————•••————————————

“The Last Repetition”, a short story for a birthday man, whom half of him and mine merged together and created a miracle.
Happy birthday. I wrote this one for you, specially.
No matter what might happen in between, I love you, to the moon and back.
Eternally.

Kuta – Bali, June 24th 2014

I Love You! – Short Story

Standard

“Luka ini, semestinya tidak perlu ada…”

Kataku, kepada dia yang terpantul di depan; sosok yang melintangkan tangan kanan di atas kening untuk menutupi matanya. Ada segaris luka tertampak jelas di permukaan. Merah lebam dan mengering, kumpulan serabutan irisan tipis memanjang pada pegelangan. Tak jauh dari sana, sebilah pisau memantulkan kilapan cahaya; sang pelaku utama yang berkilau bangga. Setiap goresnya adalah medali pengingat bahwa ada hati yang menyerah pada sakit yang teramat.

“Kamu tidak perlu semua ini. Kamu tahu itu.”

Kepadanya, aku berusaha menyadarkan. Dia hanya menatap pedih tanpa suara, kata telah kehilangan fungsinya untuk mendefisikan rupa. Kebingungan untuk merasa, karena syaraf demi syaraf perlahan mati di dalam dada. Sakit macam apa lagi yang hendak dicerna, bukankah semua sudah pernah dirasa? Sebuah luka nyata pada raga, setidaknya membantu otak untuk mengklasifikasikan sakit itu sebagai perih dan mendistraksinya dari nyeri yang tidak terdefinisi. Kumpulan irisan di pegelangan terasa lebih manusiawi dan mampu ditanggungi.

“Bertahanlah, kamu akan baik-baik saja.”

Berbisik, aku di telinganya. Matanya menatap tidak percaya, mukanya menyiratkan ragu ketara. Pandangan kami bertalian erat, aku menatap tajam ke dalam kedua bola dalam rongga itu. Aku tahu, dia sebenarnya tahu, namun binar cemerlangnya yang selalu kukenal, meredup remang hampir padam. Ia lelah, aku pun teramat tahu; hidup sedang mengajak bercanda dengan lelucon sangat tidak lucu. Drama yang tidak putus dengan senyum yang ternyata tidak tulus; palsu, wajar dia babak belur meragu.

“….”

Aku pun lalu kehilangan suara, tidak lagi tahu bagaimana menyampaikan semua ini dalam jangkauan bahasa. Dunianya yang tersusun dari balok-balok kenangan berharga yang dilandasi percaya, porak poranda seketika. Cinta buyar berlarian meninggalkan, hujatan dan penyangkalan menyisakan hanya rasa tidak berharga. Tidak lagi kini dia mau percaya, bahkan padaku yang ada di hadapannya. Kuamati dia yang tertunduk pasi; putus asa, ia terhuyung menyenderkan diri. Keningnya menyentuh keningku, tangannya menempel lemah pada telapakku. Bersandar gontai. Sentuhan tidak lagi berarti banyak; dingin, tidak tersampaikan. Aku ingin memeluknya, menghangati hatinya, namun akupun seolah turut kehilangan daya. Di dalam sana, dia mulai membangun menara; mengurung diri dari dunia, metamorfosa menjadi robot tanpa jiwa.

“Banyak cinta mengalir untukmu. Jangan menyerah dulu.”

Masih, aku berusaha mencoba membangkitkannya. Jiwanya terlalu berharga untuk dibiarkan mati begitu saja; jangan sampai seperti itu. Dia mendengus mendengarnya. Menggeleng perlahan, dia telengkan kepala, bersamaan dengan satu sudut bibirnya memaksakan senyuman. Jika rasa percaya saja sudah habis berantakan, lantas apa yang tersisa untuk sebentuk abstrak bernama cinta? Tidak, lebih-lebih tidak. Dia tidak sudi lagi, tidak sepadan dengan rasa yang digadaikan. Memang pada siapa percaya itu layak kembali dipertaruhkan?

“Padaku.”

Jawabku yakin. Dia terkesiap.

“I love you.”

Dia perlu tahu, aku perlu memberi tahu. Akan kuulangi berkali-kali kalau perlu, sejauh aku mampu.

“You’ve been doing great. I love you so much!”

Seolah tidak siap mendengarnya, kepalanya bergerak gelisah menoleh tak beraturan, namun kukunci tatapanku di sana. Biar matanya memandang kedalamanku, merasakan kesungguhannya. Dia dicinta, dia sangat layak dicinta; dia berharga luar biasa. Entah kapan terakhir kukatakan ini padanya, atau, pernahkah? Ah, wajar kalau dia lupa, wajar saja merasa tak berharga. Maafkan aku, seharusnya kukatakan ini sejak dulu; dia berhak untuk tahu, dan akulah seorang yang paling tahu.

Ada hening yang timbul dalam waktu, sebelum kulihat bahunya —juga bahuku— tersengguk menyedan. Tangan kami yang bersentuhan gemetar. Satu titik mengalir dari sudut mata, menyusuri pipi lalu menetes turun, disusul titik-titik lainnya belomba tiada henti. Suara terisak menggema di sana, tangis kami pecah beriringan. Bukan lagi karena pedih, bukan lagi karena perih. Kali ini adalah kesadaran, kami telah terlalu lama saling meninggalkan dan melupakan. Sibuk mencari dan menyanjung cinta di luaran, lupa pada jiwa yang seiring sejalan.

Dalam isak, kami bertatapan dan bersentuhan, memuaskan yang selama ini terabaikan. Aku mengamatinya lekat; setiap inci wajah, setiap raut ekspresi, setiap getar emosi. Semuanya adalah hasil tempaan perjalanan dan pergulatan panjang. Teringatkan kembali akan setiap jauh liku yang telah kami tempuh bersama; betapa sulitnya, hanya kami yang mengerti. Hanya kami yang memahami.

Derai pun mereda, sosok di balik cermin itu, yang juga adalah aku, membalas tatapku dengan pijar yang sayu. Ada harapan perlahan menyala di sana. Luka masih ada, tapi itu akan kami sembuhkan seiring waktu yang berjalan. Tidak perlu lagi dibuka-buka, biarkan mengering sempurna. Kami, —aku dan diriku—, akan baik-baik saja bersama. Beban berat sudah terangkat dari hatinya, bibirnya melengkungkan gurat tipis penuh kelegaan.

“Terima kasih sudah mengingatkan. I love you too.”

Katanya. Dan aku mengamini dalam senyuman.
Dicintai oleh diri sendiri adalah sungguh teristimewa.

————————————————————————————————————–

*again, inspired from @__azza’s twit lately. Thank you for always reminding me unintentionally.

Laki-Laki yang Duduk Ditemani Sepi – Short Story

Standard

Musik masih berdentam dari panggung di sudut sana, menenggelamkan riuh rendah canda tawa dari semua meja. Sementara cahaya remang dari lampu-lampu yang memang terpasang seadanya. Bahagia, hura-hura, cinta, dan gelora terasa di udara. Sementara itu, gelas besar di depanku, entah yang keberapa, masih menyisa setengah. Embunnya mulai menetes membasahi meja. Dingin. Cairan keruh ini dingin. Seharusnya dingin ini menghangatkan, katanya. Tapi nyatanya, aku masih saja beku.

“You look sad.”, seseorang tiba-tiba menepuk lembut samping bahuku.

Siapa? Sudah pasti bukan kamu, batinku. Maka kutolehkan kepala ini, enggan. Dan kulihat seorang asing di sana, entah sejak kapan dia di situ, aku tidak tahu.
Aku masih diam.

“You look sad.”, wanita itu mengulang pernyataannya lagi. Entah siapa dia, tapi hangat matanya. Seperti matamu, dulu. Membuatku semakin rindu, membuatku semakin pilu. Maka aku hanya tersenyum lirih, setidaknya memaksakan garis bibir untuk melekuk pada ujung-ujungnya. Hangat matanya berhak memperoleh senyuman, walau aku ragu apa lengkungan bibir tanpa hati masih mempunyai arti.
Ya, aku tersenyum lirih, mengangguk kecil, bergumam pelan “I’m okay.”, sambil mengangkat gelas seraya meneguk isinya. Aku menghindari kontak mata, aku menghindari percakapan, semoga wanita itu tidak tersinggung. Bukan aku mau membisu, hanya saja, aku tidak mengerti harus menjawab apa lagi. Bagaimana caranya aku harus merangkum pedih dalam satu kalimat? Semoga ia mengerti, semoga isyarat ini dia pahami, bahwa aku hanya ingin sendiri.

Dan demikian, dia hanya tersenyum lagi, menepuk bahuku lagi. “I hope you’ll be happy. Be happy. .”, ujarnya di tengah dentum bersahutan sesaat sebelum dia berbalik pergi dan menghilang di tengah keriuhan.

Kuikuti punggungnya dari antara sudut mata, sebelum pandangku kembali pada gelas dingin itu
Am I looked so freakin’ miserable, until she randomly tried to cheer me up?
Pertanyaan bodoh. Seorang lelaki duduk sendiri ditemani gelas dan sepi; siapa pun tentu akan mengasihani.
Siapapun… Mungkin kecuali kamu. Kenapa lagi-lagi kamu? Aku mendengus geli, bercampus sinis, sambil menandaskan isi gelasku
Bahagia. Aku bahkan lupa kalau kata itu ada, kalau kata itu pernah punya makna. Aku lupa dan sekarang aku luka.

Tapi wanita asing tadi, entah siapapun itu, tulus meminta aku untuk bahagia. Kuangkat pandangku, mencoba mencari punggungnya lagi. Merasakan gelombang empati yang dia kirimkan. Sayang tidak lagi tampak di sana.

Gelasku sudah kosong, cairan keruh itu habis sudah. Perlahan ada hangat tersirat di dada, mencairkan es beku di dalam sana. Aku tidak tahu, apakah ini efek cairan yang kuminum barusan atau energi wanita itu berhasil tersampaikan.
Yang kutahu, malam ini aku masih lupa dan luka, tapi aku yakin tak akan lama.

Dan kamu, di manapun berada, semoga kamu juga bahagia di sana.

20140116-004440.jpg

This short story is inspired from @_azza’s twitter status couple days ago. I just could spontaneously depict the scene in my head as i read that. And this is my first short story after years 🙂 I should call it achievement.