Tugu Monas, Jakarta – Tugu Kujang, Bogor.
More and less 55-ish kilometer.
Jika perjalanan kedua tugu tersebut adalah kurang lebih 1.5 – 2 jam perjalanan menggunakan mobil dan sekitar 1 jam menggunakan communter line, maka berapakah waktu yang diperlukan jika perjalanan dilakukan dengan berlari?
Lari?
Iya, lari.
Tugu Monas – Tugu Kujang. Jakarta – Bogor, lari?
Iya. Lari.
….. Edan
Well, as always. I am.
People said, we quite have to add a little craziness to spice up our life.
So here I am, dengan setengah terjerumus yang penuh pertimbangan, akhirnya nekad memutuskan untuk menutup tahun 2017 dan mengawali 2018 dengan BERLARI Jakarta – Bogor di acara Ultra Marathon Tugu to Tugu: Chapter IV besutan komunitas tersayang: Bogor Runners yang diadakan tepat pada tanggal 31 Desember 2017 untuk menyambut malam pergantian tahun baru.
Credits: deBrads
Sesuai namanya yaitu Tugu to Tugu: Chapter IV, acara ini merupakan pelaksanaannya di tahun keempat dengan jumlah orang-orang gila yang dengan sukarela mendaftar terus bertambah. Setelah tahun lalu di chapter III mengukir jumlah peserta sebanyak 180 orang, tahun ini meningkat menjadi hampir 300 pelari yang terdaftar. Padahal kalau dipikir ya, jarak full marathon 42 kilometer saja sudah berat, ini ultra marathon loh.
Set dah, ini orang-orang ga punya kegiatan tahun baruan lain apa, kok mau-maunya nyiksa diri di tahun baru?? (*ngomong sama kaca*)
And that was the most frequent question: why?
Dari sekian banyak alternatif pilihan perayaan akhir tahun: dari party, nonton kembang api, pacaran (walau ga jelas sama siapa – eh maap curhat), merenung resolusi akhir tahun, BBQ sama keluarga, sampai tidur cantik demi kulit wajah yang lebih baik di 2018…. Yes, dari sekian banyak pilihan itu, kenapa malah justru memilih berlari ultra marathon 55K Jakarta – Bogor?
Semua peserta pasti punya alasan mereka masing-masing: target personal, pembuktian diri, tantangan, dan banyak lainnya.
Tapi personally untukku sendiri, this was the reason.
2017 has been such a blessed year for me.
I’ve been blessed more than I could wish for, and I think I need one kind of extraordinary way to conclude everything and expressing my gratefulness.
55K akan menjadi jarak yang pantas untuk berpikir jernih, bersyukur, dan berterima kasih untuk semua keajaiban yang terjadi. Juga menjadi jarak yang tepat untuk memantapkan hati untuk menjadi diri yang lebih baik di 2018.
And 55K is gonna be quite a long way to say so.
So yes, there I was. On my way breaking my VIRGIN ultra marathon.
Wih kece banget, Sar!!
Ya, persiapan dan pelaksanaannya ga sekece alasan di atas sih sayangnya. Hahahaha…
Frankly said, I’m a little bit impulsive tanpa persiapan spesifik (JANGAN DITIRU PLIS), hanya bermodal maintenance badan dengan strength training dan weekly mileage sekitar 55-60K, plus sisa-sisa persiapan Jakarta Marathon lalu.
Sisanya, tinggal mental (sok) baja dan meyakinkan hati bahwa seberat apapun nanti, this should be a joyful journey.
This would be an ULTRA fun run; Fun Run kok…. Jaraknya saja yang ultra.
Capek ya nanti berhenti, tidak bisa lari lagi ya nanti jalan. Kalau perlu mampir ngopi dulu di s******s buat pencitraan, dan liputan IG Story jalan terus.
Anything, but yes, let’s make it fun.
Then fast forward to the day, 31 Desember 2017.
Dimulai dengan registrasi ulang di STO Telkom Gambir, di mana diriku registrasi ulang dan masih bantu panitia on duty jadi MC buat meramaikan dan menyapa para peserta (Multitasking at its best, babe!). Lari ultra iya, MC iya. Coba mic dan sound setnya bisa dibawa-bawa macam di gerobak tahu bulat, MC sambil lari sekalian kalau perlu.
It was fun and the hype was there since the very start.
Then not so long setelah registrasi dan pritilan gear & medical check selesai, kita semua mulai moving ke Tugu Monas untuk persiapan start.
Dan di sini drama pertama pun terjadilah.
Awan gelap mulai bergulung-gulung disertai angin kencang yang membuat peserta mulai gelisah dan mulai siap-siap mengeluarkan jas hujan masing-masing.
And yes, true. HUJAN BADAI ANGIN KENCANG mewarnai pelepasan peserta kategori 55K pada pukul 14.30 dong.
Such a memorable start, wasn’t it?
Tapi justru serunya, hujan badai ini menambah sensasi dan tantangan tersendiri, Jadi alih-alih kocar-kacir mencari tempat berteduh, para pelari ultra ini berlari dengan super semangat menerjang hujan badai.
Akupun.
Rain has always been my forte, my kind of sanctuary.
Running under the rain has always been my kind of joy, dan kali ini tidak cuma hujan bahkan. BADAI ANGIN DERAS.
(Tapi selama masih air dan genangan bukan masalah, selama bukan air mata dan kenangan yang menggenang. AMAN (#sikap))
I laughed hard and off I went on. From Tugu Monas, all the way through Sudirman Street under the heavy rain, and I felt so much blessed. Dan kerennya, meskipun begitu, semua marshall tetap ready di jalanan dan semua rungrapher masih stand by mengabadikan moment luar biasa itu.
Credit: Eldi
Persis seperti anak kecil main hujan-hujanan, I lost words to explain the joy under the rain, but indeed it was blissful.
Sampai akhirnya hujan reda di sekitar Pancoran dan kering memasuki area Pasar Minggu, di mana 28K pertama sampai dengan Check Point 1 di Depok berlalu dengan sangat menyenangkan.
I knew I was doing what I love to do and I do enjoy every steps within, surrounded with dearest people.
Rungrapher melimpah ruah sepanjang jalan di setiap sekian kilometer, marshal dari Bogor Runners dan Vespride juga standby di setiap tikungan yang menyesatkan (buat pelari malas baca peta dan buta arah seperti daku, ini helpful banget). Belum lagi support dari teman-teman komunitas lain yang fix buat senyum-senyum sepanjang jalan.
Ada Baba dari Indosweatcamp Depok yang sempat menemani sampai Pasar Minggu (plus ngasih semangka potong di jalan )
And this kind of surprise
Ada Ilfa juga di jalan
Masuk Check Point 1 Depok 28K tanpa drama sekitar jam 6 sore, setelah sebelumnya masih sempat menikmati sunset cantik terakhir di tahun 2017.
One of the most beautiful sunset to see.
Energi masih full, haha hihi dengan teman-teman panitia yang standby di sana, sempat mandi bilas-bilas dan ganti baju, plus MC lagi bareng partner MC kondang kesayangan, Fazri Maulana. Lokasi CP1 di Polres Depok juga luas, ada masjid dan kamar mandinya bersih; benar-benar nyaman untuk transit. Ada physiotherapist dari Physiocore juga, tapi belum terpikir kalau butuh proper stretching. Ketemu juga dengan banyak teman-teman lain dari RUNI, Bogor, CEO, Derby dan banyak lagi. I thought all gonna be well till the end.
Little did I know, the trial began after that.
As the night came and the ultra distance started kicking; as the euphoria started disappearing and the feet began trembling. Malam menjelang, jalanan memadat dan pertarungan dengan riuh kendaraan serta lautan manusia pun dimulai.
Duh Gusti. Capek. (ya iyalah!!!!!)
Diantara serudukan angkot dan pickup yang tidak henti-hentinya menikung, tenaga pun mulai menipis, walaupun tidak putus disupport dengan pisang, cokelat, GU gel, maupun beragam supply gula. Lupa ganti sepatu pula di Depok (hiks), dan kaki mulai berat tertatih-tatih.
Tapi somehow, diantara langkah yang tertatih, aku menyadari satu hal. Yes, I had a lot of things going on my mind along the journey: questions, resolutions, affirmations. But yet apparently, I’ve stopped questioning this what-the-hell-am-I-doing kind of question. Ternyata tidak sekalipun aku merutuk lagi “GUE LAGI NGAPAIN SIH?!”
This time, I knew what and why I was doing; this time I know where I am heading. And it’s reassuring. Thus so, yes, I kept going no matter how hard. No matter how far. One step at time,
Credit: Dandi
Even so, knowing those didn’t make the journey easier thou. Selepas Check Point 2 di Cibinong dan melewati kilometer 42, there came the most terrible distance.
Yang tadinya masih sanggup lari tertatih-tatih, mulai dikombinasikan dengan power walk. BELUM LAGI JALANAN KARADENAN SEPI BANGET NANJAK PULA YA TUHAN INI RUTE NGAJAK RIBUT BUKAN SIH KAYAK MANTAN AJA DEH RESE (*emosik. Lemah dasar!)
Untungnya di kilometer-kilometer terakhir ini, ditemani oleh Capt Badu sang finisher NR 5 yang 3 minggu sebelumnya baru saja finish Purwokerto-Dieng 127K, kan gengsi yak kalau lemah sendiri. Dengan tenaga (atau harga diri?) yang tersisa, berdua lah kami jalan-lari-jalan-lari sampai finish berkejaran dengan waktu COT yang semakin pendek.
Credit: Eldi
That was the most downfall moment, yet at the lowest was the reminder of why I decided to run these ultra distance: to be grateful despite anything. I heard it much of people said, that an ultra distance is one kind of way to talk with the Almighty Himself.
So there, I tried to find every ounce of faith to keep going with a joyful heart. Menyerah sudah pasti bukan pilihan, tapi menjalani resiko lari ultra dengan ikhlas dan bahagia ini yang mau aku upayakan.
There I kept going while whispering: TUHAN BAIK.
There I kept going, smiling.
Credits: Fathur
Masuk Bogor – Warung Jambu, disambut dengan tanjakan tipis jahanam yang membuat sungguh ingin kuberkata kasar. But I knew, I was closer than ever. Sampai akhirnya, sampai di Check Point 3 – TUGU KUJANG persis di detik pergantian tahun disambut dengan dentum meriah kembang api.For a moment, I stood in silence and smiled before I screamed aloud Happy New Year to all.
And after, the last 2.5K on the pedestrian lane, I ran again with joy under the blasting new year’ fireworks and loud trumpet sounds. To those who knew the story, buatku jalur pedestrian lingkar luar Kebun Raya sudah seperti rumah kedua dan berlari di sana seakan-akan memberi kekuatan tersendiri. Tenaga yang tadinya sudah entah ada di mana, dan kaki yang sudah tidak bisa diangkat lagi, tiba-tiba mau bekerja sama dan kejar-kejaran dengan dentum meriah kembang api tahun baru.
And there it was, the finish line on my sight.
Familiar scene dari Balai Kota Bogor, riuh panitia/ keluarga Bogor Runners yang menyambut di gerbang dan finish gate Tugu to Tugu yang menjulang. There was a dejavu stroke my mind in a brief second.
I remember last year, I stood over and watched people fought their best to the lane. I witnessed their joy conquering the distance, I remember how sweet the victory felt like after one hell of struggle. I remember I made a promise myself, one day I would run those distance. I promised myself to run 55K ultra distance to prove myself, I’m stronger than any obstacles and difficulties that tried to hit me down.
And here I was, a year after.
I’m finally done. 55K done and dusted.
Terima kasih kepada seluruh panitia keluarga besar Bogor Runners, sahabat-sahabat RUNGRAPHER tersayang, teman-teman Vespride, physioterapis dari Physiocore, Pemkot Bogor, Polres Depok, dan semua sponsor serta pendukung acara yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah menjadi bagian dari perjalanan luar biasa ini. Sebagai panitia Tugu to Tugu: Chapter III yang kini menjalani sebagai peserta, aku dengan sepenuh hati berkata KALIAN LUAR BIASA KEREN. Perjalanan ultra bukan perjalanan yang mudah, tapi kalian menjadikannya lebih ringan dari yang seharusnya. Semua rapih dan memudahkan perjalanan, aku sebagai pelari pun dimanjakan. I’m losing my words to describe how AMAZING you all.
…
Dan akhirnya untuk menjawab pertanyaan pembuka di atas: berapa waktu yang dibutuhkan untuk menempuh Tugu Monas – Tugu Kujang dengan berlari?
There my personal answer is, 9 jam 50-something menit.
Bukan perjalanan mudah, tapi perjalanan yang terberkati. Dengan senyuman dalam kesulitan; dengan rasa syukur yang dipanjatkan dalam kesukaran. Dengan sahabat dalam kebersamaan; dengan keluarga dalam perjalanan.
Aku telah berjuang sebaik-baiknya, sebenar-benarnya.
Tuhan baik. Tuhan selalu baik. Aku hanya perlu lebih percaya.
Thank you 2017 and welcome, 2018.